|
Ilustrasi (Ist.) |
Jakarta - Pembajakan software komputer kian canggih.
Meski produsen sudah berupaya maksimal untuk mencegahnya, namun tetap
saja muncul modus operandi baru. Kenali gejalanya agar kita bisa
terhindar dari jeratan software ilegal.
Hardisk Loading
Seperti
dipaparkan oleh Justisiari P Kusumah, Sekjen dari Masyarakat Indonesia
Anti Pemalsuan (MIAP), metode pembajakan software yang paling sering
terjadi adalah 'Hardisk Loading'.
"Hardisk loading itu biasanya
dilakukan oleh para retailer komputer. Orang yang beli komputer dikasih
bonus software tak berlisensi," kata dia dalam sosialisasi hak cipta
software komputer di Hotel Grand Mahakam, Jakarta, Kamis (16/2/2012).
Under Licensing
Nah,
modus pembajakan software ini biasanya dilakukan oleh perusahaan yang
hanya membeli sejumlah lisensi, misalnya untuk 30 PC, namun software-nya
digunakan untuk 50 PC atau lebih.
Counterfeiting
Ini modus pembajakan software yang dijual lewat CD.
Packaging-nya rapi seperti asli. Berbeda dengan CD software bajakan seharga Rp 10-20 ribu yang mudah dikenali. Produk
high end counterfeting yang sudah seharga produk asli ini sudah banyak beredar.
Fake COA
COA
atau certificate of authenticity, sudah lama digunakan oleh vendor
softwar seperti Microsoft untuk menandakan bahwa komputer atau laptop
yang menggunakan produknya adalah software berlisensi.
Namun, COA
ini mulai banyak dipalsukan. Sepintas memang mirip. Tapi jika
diperhatikan dengan seksama, akan ada sejumlah perbedaan karakteristik
dari COA tersebut. Mabes Polri sendiri tengah memburu pemalsu COA
tersebut.
"Komputer dengan COA palsu ibaratnya mobil yang pakai STNK palsu. Ada juga COA yang asli
kletekan, tapi di dalam komputernya pakai OS dan software bajakan. Sudah bukan OS yang asli diinstal pertama kali," kata Justisiari.
Mischanneling
Pelanggaran
satu ini biasanya terjadi di kampus-kampus dan sekolahan. Seperti
diketahui, kampus maupun sekolah kerap mendapat potongan harga cukup
besar dari vendor software, bahkan ada yang sampai 90%.
Nah,
benefit dari software dan OS untuk pendidikan ini pernah disalahgunakan
oleh pihak dosen atau staf pengajar untuk kepentingan komersial di luar
kegiatan mengajar.
Misalnya saja, dosen itu punya perusahaan kecil-kecilan, dan software beserta OS
academic license itu digunakan untuk menunjang kegiatan bisnis komersilnya.
"Contoh lainnya, kampus yang membeli
academic license dengan
harga lebih murah, kemudian dijual lagi ke perusahaan komersil dengan
harga lebih mahal, namun masih lebih murah dibanding harga semestinya,"
kata Justisiari.
Menurut Kombes Polisi Dharma Pongrekun dari
Kasubdit Indag Direktorat Tipideksus Bareskri Polri, ada sejumlah sanksi
hukum yang bisa dikenakan jika terbukti. Sanksi tersebut ada di Pasal
72 ayat 1, 2, dan 3, dalam UU No.19/2002 tentang Hak Cipta.
Dalam
pasal 72 ayat 1, pihak yang terbukti memperbanyak hak cipta tanpa
seizin pencipta/pemegang hak cipta, bisa dikenakan pidana penjara paling
lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Kemudian
di pasal 72 ayat 2, pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5 juta bagi pihak yang mengedarkan atau
menjual/memperdagangkan kepada umum barang/produk hasil pelanggaran hak
cipta.
Sedangkan pihak yang terbukti memperbanyak
penggunaan/menggunakan program komputer secara tanpa hak (software
bajakan) untuk kepentingan komersial, dalam pasal 72 ayat 3, bisa
dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500 juta.
sumber